Senin, 20 Juni 2011

Kesenian Reog Ponorogo



Salah satu ciri khas seni budaya Kabupaten
Ponorogo Jawa Timur adalah kesenian Reog
Ponorogo. Reog, sering diidentikkan dengan
dunia hitam, preman atau jagoan serta tak
lepas pula dari dunia mistis dan kekuatan
supranatural. Reog mempertontonkan
keperkasaan pembarong dalam mengangkat
dadak merak seberat sekitar 50 kilogram
dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang
pertunjukan berlangsung. Instrumen
pengiringnya, kempul, ketuk, kenong,
genggam, ketipung, angklung dan terutama
salompret, menyuarakan nada slendro dan
pelog yang memunculkan atmosfir mistis,
unik, eksotis serta membangkitkan
semangat. Satu group Reog biasanya terdiri
dari seorang Warok Tua, sejumlah warok
muda, pembarong dan penari Bujang Ganong
dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlah
kelompok reog berkisar antara 20 hingga 30-
an orang, peran utama berada pada tangan
warok dan pembarongnya.
Seorang pembarong, harus memiliki
kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai
kekuatan rahang yang baik, untuk menahan
dengan gigitannya beban“Dadak Merak”
yakni sebentuk kepala harimau dihiasi
ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi
dua meter yang beratnya bisa mencapai 50-
an kilogram selama masa pertunjukan. Konon
kekuatan gaib sering dipakai pembarong
untuk menambah kekuatan ekstra ini, salah
satunya dengan cara memakai susuk, di leher
pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak
cukup hanya dengan tubuh yang kuat.
Seorang pembarong pun harus dilengkapi
dengan sesuatu yang disebut kalangan
pembarong dengan wahyu yang diyakini para
pembarong sebagai sesuatu yang amat
penting dalam hidup mereka. Tanpa diberkati
wahyu, tarian yang ditampilkan seorang
pembarong tidak akan tampak luwes dan
enak untuk ditonton. Namun demikian
persepsi misitis pembarong kini digeser dan
lebih banyak dilakukan dengan pendekatan
rasional. Menurut seorang sesepuh Reog,
Mbah Wo Kucing“Reog itu nggak perlu
ndadi. Kalau ndadi itu ya namanya bukan reog,
itu jathilan. Dalam reog, yang perlu kan
keindahannya“.
Legenda Cerita Reog
Reog dimanfaatkan sebagai sarana
mengumpulkan massa dan merupakan
saluran komunikasi yang efektif bagi
penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah
kemudian membuat cerita legendaris
mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh
sebagian besar masyarakat Ponorogo
dipercaya sebagai sejarah. Adipati
Batorokatong yang beragama Islam juga
memanfaatkan barongan ini untuk
menyebarkan agama Islam. Nama Singa
Barongan kemudian diubah menjadi Reog,
yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti
khusnul khatimah yang bermakna walaupun
sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun
bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada
Allah, maka surga jaminannya. Selanjutnya
kesenian reog terus berkembang seiring
dengan perkembangan zaman. Kisah reog
terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah
yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi
ke generasi.
Menurut legenda Reog atau Barongan
bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu
Suryonggalan yang ingin menyindir Raja
Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu
pada waktu itu sering tidak memenuhi
kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan
dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh
karena itu dibuatlah barongan yang terbuat
dari kulit macan gembong (harimau Jawa)
yang ditunggangi burung merak. Sang prabu
dilambangkan sebagai harimau sedangkan
merak yang menungganginya
melambangkan sang permaisuri. Selain itu
agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng
melindunginya dengan pasukan terlatih yang
diperkuat dengan jajaran para warok yang
sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati
Batorokatong yang memerintah Ponorogo
sekitar 500 tahun lalu, reog mulai
berkembang menjadi kesenian rakyat.
Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng
Mirah menggunakan reog untuk
mengembangkan kekuasaannya.
Reog mengacu pada beberapa babad, Salah
satunya adalah babad Kelana Sewandana.
Babad Klana Sewandana yang konon
merupakan pakem asli seni pertunjukan reog.
Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam
legenda Lara Jongrang, Babad Klono
Sewondono juga berkisah tentang cinta
seorang raja, Sewondono dari Kerajaan
Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi
Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri
meminta Sewondono untuk memboyong
seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kawin.
Demi memenuhi permintaan sang putri,
Sewandono harus mengalahkan penunggu
hutan, Singa Barong (dadak merak). Namun
hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para
warok, prajurit, dan patih dari Jenggala pun
menjadi korban. Bersenjatakan cemeti
pusaka Samandiman, Sewondono turun
sendiri ke gelanggang dan mengalahkan
Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan
dengan tarian para prajurit yang tak cuma
didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak
bringasan para warok, serta gagah dan gebyar
kostum Sewandana, sang raja pencari cinta.
Versi lain dalam Reog Ponorogo mengambil
kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang
perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari
gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan
patihnya yang setia, Pujangganong. Ketika
pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi
Sanggalangit, sang dewi memberi syarat
bahwa ia akan menerima cintanya apabila
sang prabu bersedia menciptakan sebuah
kesenian baru. Dari situ terciptalah Reog
Ponorogo. Huruf-huruf reyog mewakili
sebuah huruf depan kata-kata dalam
tembang macapat Pocung yang berbunyi:
Rasa kidung/ Ingwang sukma adiluhung/
Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar
gulung kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur
mistis merupakan kekuatan spiritual yang
memberikan nafas pada kesenian Reog
Ponorogo.
Warok
Warok sampai sekarang masih mendapat
tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya.
Kedekatannya dengan dunia spiritual sering
membuat seorang warok dimintai
nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual
ataupun ketentraman hidup. Seorang warok
konon harus menguasai apa yang disebut Reh
Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang
sejati.
Warok adalah pasukan yang bersandar pada
kebenaran dalam pertarungan antara
kebaikan dan kejahatan dalam cerita
kesenian reog. Warok Tua adalah tokoh
pengayom, sedangkan Warok Muda adalah
warok yang masih dalam taraf menuntut
ilmu. Hingga saat ini, Warok dipersepsikan
sebagai tokoh yang pemerannya harus
memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan
tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan
warok. Warok adalah sosok dengan
stereotip: memakai kolor, berpakaian hitam-
hitam, memiliki kesaktian dan
gemblakan.Menurut sesepuh warok, Kasni
Gunopati atau yang dikenal Mbah Wo Kucing,
warok bukanlah seorang yang takabur
karena kekuatan yang dimilikinya. Warok
adalah orang yang mempunyai tekad suci,
siap memberikan tuntunan dan perlindungan
tanpa pamrih.“Warok itu berasal dari kata
wewarah. Warok adalah wong kang sugih
wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok
karena mampu memberi petunjuk atau
pengajaran kepada orang lain tentang hidup
yang baik”.“Warok iku wong kang wus
purna saka sakabehing laku, lan wus menep
ing rasa” (Warok adalah orang yang sudah
sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai
pada pengendapan batin).
Syarat menjadi Warok
Warok harus menjalankan laku.
“Syaratnya, tubuh harus bersih karena
akan diisi. Warok harus bisa mengekang
segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus,
juga tidak bersentuhan dengan perempuan.
Persyaratan lainnya, seorang calon warok
harus menyediakan seekor ayam jago, kain
mori 2,5 meter, tikar pandan, dan selamatan
bersama. Setelah itu, calon warok akan
ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan
ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan
menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan
menjadi seorang warok sejati. Ia
memperoleh senjata yang disebut kolor
wasiat, serupa tali panjang berwarna putih,
senjata andalan para warok. Warok sejati
pada masa sekarang hanya menjadi legenda
yang tersisa. Beberapa kelompok warok di
daerah-daerah tertentu masih ada yang
memegang teguh budaya mereka dan masih
dipandang sebagai seseorang yang dituakan
dan disegani, bahkan kadang para pejabat
pemerintah selalu meminta restunya.
Gemblakan
Selain segala persyaratan yang harus dijalani
oleh para warok tersebut, selanjutnya
muncul disebut dengan Gemblakan. Dahulu
warok dikenal mempunyai banyak gemblak,
yaitu lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun
berparas tampan dan terawat yang dipelihara
sebagai kelangenan, yang kadang lebih
disayangi ketimbang istri dan anaknya.
Memelihara gemblak adalah tradisi yang
telah berakar kuat pada komunitas seniman
reog. Bagi seorang warok hal tersebut adalah
hal yang wajar dan diterima masyarakat.
Konon sesama warok pernah beradu
kesaktian untuk memperebutkan seorang
gemblak idaman dan selain itu kadang terjadi
pinjam meminjam gemblak. Biaya yang
dikeluarkan warok untuk seorang gemblak
tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka
warok yang memeliharanya harus
membiayai keperluan sekolahnya di samping
memberinya makan dan tempat tinggal.
Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah
maka setiap tahun warok memberikannya
seekor sapi. Dalam tradisi yang dibawa oleh Ki
Ageng Suryongalam, kesaktian bisa
diperoleh bila seorang warok rela tidak
berhubungan seksual dengan perempuan. Hal
itu konon merupakan sebuah keharusan yang
berasal dari perintah sang guru untuk
memperoleh kesaktian.
Kewajiban setiap warok untuk memelihara
gemblak dipercaya agar bisa
mempertahankan kesaktiannya. Selain itu
ada kepercayaan kuat di kalangan warok,
hubungan intim dengan perempuan biarpun
dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh
kesaktian warok. Saling mengasihi,
menyayangi dan berusaha menyenangkan
merupakan ciri khas hubungan khusus antara
gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan
di kalangan warok, diidentifikasi sebagai
praktik homoseksual karena warok tak
boleh mengumbar hawa nafsu kepada
perempuan.
Saat ini memang sudah terjadi pergeseran
dalam hubungannya dengan gemblakan. Di
masa sekarang gemblak sulit ditemui. Tradisi
memelihara gemblak, kini semakin luntur.
Gemblak yang dahulu biasa berperan sebagai
penari jatilan (kuda lumping), kini perannya
digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu
kesenian ini ditampilkan tanpa seorang wanita
pun.
Reog di masa sekarang
Seniman Reog Ponorogo lulusan sekolah-
sekolah seni turut memberikan sentuhan
pada perkembangan tari reog ponorogo.
Mahasiswa sekolah seni memperkenalkan
estetika seni panggung dan gerakan-gerakan
koreografis, maka jadilah reog ponorogo
dengan format festival seperti sekarang. Ada
alur cerita, urut-urutan siapa yang tampil
lebih dulu, yaitu Warok, kemudian jatilan,
Bujangganong, Klana Sewandana, barulah
Barongan atau Dadak Merak di bagian akhir.
Saat salah satu unsur tersebut beraksi, unsur
lain ikut bergerak atau menari meski tidak
menonjol. Beberapa tahun yang lalu
Yayasan Reog Ponorogo memprakarsai
berdirinya Paguyuban Reog Nusantara yang
anggotanya terdiri atas grup-grup reog dari
berbagai daerah di Indonesia yang pernah
ambil bagian dalam Festival Reog Nasional.
Reog ponorogo menjadi sangat terbuka akan
pengayaan dan perubahan ragam geraknya.

0 komentar:

Posting Komentar