Jumat, 17 Juni 2011

Kesenian Dongkrek dari Kota Madiun



seni
dongkrek, secara filosofis, memiliki makna
dan fungsi tolak bala. Sehingga, penampilan
seni ini sangat diperlukan agar arena
perhelatan seni dan tanah sekelilingnya
diselamatkan dari bencana dan mara bahaya.
Atraksikesenian dongkrek, yang malam itu
dipertunjukkan Grup Seni Dongkrek Condro
Budoyo dari Dusun Karangmalang Desa
Sumberbening Kecamatan Balerejo Madiun,
memang menimbulkan kesan berbeda dari
seni pertunjukan yang lain; angker dan magis.
Irama musik tradisional yang semula sayup-
sayup lalu kian menghentak bertalu-talu,
makin memberi kesan garang. Rasanya tak
hanya niat jelek manusia, bahkan arwah
jahat pun akan lari ketakutan mendengar
irama bertalu-talu itu sebelum mengusik
harmoni kehidupan di bumi.
Dungkrek Berpadu
Kesenian ini disebut seni dongkrek bermula
dari bunyi yang ditimbulkan oleh paduan dua
alat musik tradisional yang mengiringinya.
Yakni bunyi dung berasal dari beduk atau
kendang dan krek dari alat musik yang
disebut korek. Alat musik korek ini berupa
kayu berbentuk bujur sangkar, di satu sisinya
ada tangkai kayu bergerigi yang bila digesek
berbunyi krek. Dari perpaduan dua bunyi
itulah lantas masyarakat menyebut
kesenian ini dengan nama dongkrek.
Perpaduan bunyi itu digunakan Raden Ngabehi
Lo Prawirodipuro untuk mengusir setan yang
menimbulkan pageblug atau wabah dan
bencana alam sekitar tahun 1867 di Mejayan.
Kala itu, sebagian warga diserang wabah
penyakit dan meninggal dunia dalam waktu
singkat. Hasil pertanian dan ternak juga terjadi
paceklik.
Namun,dalam perkembangannya kesenian
dongkrek juga menggunakan komponen alat
musik lainnya seperti gong besi, gong kempul,
kenong, kentongan, dan kendang.
Penggunaan alat musik ini dipengaruhi
perpaduan antar budaya, seperti Islam, Cina,
dan kebudayaan masyarakat Jawa pada
umumnya.
Padatiap pementasan dongkrek, ada tiga
topeng yang digunakan para penari. Ada
topeng raksasa atau buto, dalam istilah
Jawa, yang bermuka seram. Ada topeng
perempuan yang sedang mengunyah kapur
sirih yang melambangkan cibiran, serta
topeng orang tua sebagai lambang kebajikan.
Ketikaatraksi digelar, kesenian ini
menunjukkan fragmentasi pertarungan seru
dalam kehidupan, antara kebaikan dan
kejahatan. Ada orang bajik bertarung dengan
buto yang hendak menusukkan keburukan.
Ada pihak yang dengan tegas mencibir niat-
niat jelek (wanita bertopeng). Sekelompok
pihak lainnya mentahbiskan doa-doa
keselamatan (pemusik). Dan begitu
seterusnya, nyaris tanpa henti.
Alhasil,pada tiap pertempuran antara
kebaikan dan kejahatan, kemenangan selalu
menyertai kebajikan yang ditegakkan di
muka bumi. Suro diro joyodiningrat, lebur
dening pangastuti. Atau dalam terminologi
Islam, idza jaal haqqu wazahaqal bathil, innal
bathila kana zahuqa.
Langgamseni yang terdiri dari penari dengan
bermacam bentuk dan pemusik itu lantas
menjadi pakem seni dongkrek. Konon, pakem
kesenian asli yang dikembangkan
berdasarkan hasil penelusuran sejarah secara
komprehensif dan mendalam, sehingga tidak
boleh dicampur aduk agar generasi penerus
memahami isi, maksud, dan tujuan
pertunjukan kesenian dongkrek.
Karena,unsur penari topeng dan pemusik,
masing-masing memiliki makna yang
mendalam. Penari topeng buto
melambangkan kejahatan dan ketiga penari
lainnya melambangkan kebaikan.
Sedangkan, semua musik melambangkan
harmoni, keserasian, kebersihan hati serta
menolak segala bentuk musibah dan
keburukan.
Kalaupun pada perkembangannya ada
modifikasi, semata untuk menyesuaikan diri
dengan kebutuhan masyarakat kekinian.
Modifikasi itu, misalnya, unsur penari yang
semula terdiri dari tiga atau empat orang
dikembangkan menjadi delapan orang. Satu
penari buto sekarang menjadi empat penari,
dan kadang ditambah dengan penari anak-
anak. Penari dewasa dan dua wanita tetap
seperti aslinya. Penari dan pemusik kesenian
ini pun berkembang dan membutuhkan
sekitar 20-25 pemain pada setiap penampilan.
Selainitu, kesenian ini juga kadang
dimodifikasi dengan seni Barongsai asal
negara Tiongkok serta dicampur dengan
kesenian Reog Ponorogo. Alunan musiknya
juga sesekali dicampur dengan keroncong
dangdut dan campursari.
AndriSuwito, pimpinan Grup Seni Dongkrek
Condro Budoyo, menjelaskan tambahan
penari dan alunan musik yang disesuaikan
dengan kebutuhan dan perkembangan zaman
diperlukan untuk mengembangkan seni
dongkrek. Sebab, jika tidak ada campurannya,
senidongkrek tidak akan mampu menyedot
minat masyarakat. "Adopsi dan tambahan
jumlah penari dan alunan musik itu supaya
seni ini tetap diterima masyarakat sekaligus
tidak monoton dan membosankan,"
tegasnya.
Pasang-surut
Berdasar studi pustaka, seni dongkrek lahir
sekitar tahun 1867 di Mejoyo atau Mejayan,
nama kuno dari Kecamatan Caruban. Kesenian
itu lahir di masa kepemimpinan Raden Ngabehi
LoPrawirodipuro yang menjadi demang
(jabatan setingkat kepala desa) yang
membawahi lima desa. Kesenian dongkrek,
bisa dibilang, mengalami masa kejayaan
antara 1867-1902. Setelah itu,
perkembangannya pasang surut.
Sebagaimana kesenian lainnya, seni dongkrek
juga rentan dipengaruhi kondisi politik yang
berkembang masa itu.
Padamasa kolonial, kesenian dongkrek
sempat dilarang oleh pemerintahan Belanda
untuk dijadikan pertunjukan kesenian rakyat.
Demikian pula saat Jepang berkuasa, kesenian
dongkrektidak bisa hidup karena dilarang
oleh tentara Dai Nippon. Saat kejayaan Partai
KomunisIndonesia (PKI) di Madiun tahun
1965, pun kesenian dongkrek tenggelam
karena kalah pamor dengan kesenian genjer-
genjer yang dikembangkan PKI.
Menurutcatatan Andri, pada 1973 seni
dongkrek mulai digali dan dikembangkan
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Madiun dan Propinsi Jawa Timur. Pada 1980,
diadakan garap tari oleh Suwondo, Kepala
Seksi Kebudayaan Kabupaten Madiun.
Catatan lain tertulis, pada era 1979, tepatnya
padamasa pemerintahan Bupati Madiun
Kadiyono, kesenian dongkrek mulai
dibangkitkan. Saat itu, dilakukan upaya
merekonstruksi sejarah dan pakem dongkrek
melalui penelusuran dan studi dokumentasi.
Sayangnya, perkembangan kesenian ini masih
tersendatkarena kalah pamor dengan
kesenian modern. Akibatnya, eksistensi
kesenian dongkrek berada di ujung tanduk.
Selain itu, minimnya minat masyarakat untuk
mengembangkankesenian tradisional
tersebut, turut memperpuruk seni dongkrek.
Akhirnya, hanya ada beberapa kelompok
seni saja yang masih melestarikan kesenian
ini. Hanya generasi tua saja yang menjadi
pelaku utama kesenian ini.
Sejak2002, Andri termasuk pihak yang tak
henti-henti meminta agar semua pihak,
termasuk Pemerintah Kabupaten Madiun
membantu pengembangan seni dongkrek.
Sebab, menurutnya, seni ini sudah mulai
populer lagi. Kelompok seni dongkrek Condro
Budoyo yangdigawanginya, misalnya, sudah
berkali-kali tampil di berbagai festival seni di
Surabaya, Solo, Jogjakarta, Malang hingga di
Jakarta.
Menurutnya, seni dongkrek saat ini justru
kondang di luar Kabupaten Madiun. Hal itu
terlihat dari sejumlah pertunjukan dan
undangan yang selama ini dipertunjukkan.
Kelompok Seni Dongkrek Condro Budoyo,
misalnya, bahkan sudah pernah tampil di
Istana Merdeka Jakarta untuk mengisi acara
Gita Nantya Nusantara atau Pawai Budaya
Nusantara tahun 2005 lalu.
Beberapafestival seni yang telah diikuti di
antaranya, Festival Bonraja, Festival Sri
Wedari, Festival Wayang, dan Festival
Bengawan Solo. Sedangkan di Surabaya,
mengikuti Festival Cak Durasim, Festival
Kesenian Rakyat dan Festival Topeng.
“Dulu dongkrek hanya di Madiun saja.
Namun sekarang merambah sampai ke
Istana,” ceritanya.
Dari beberapa festival yang pernah diikutinya,
adadua kejuaraan yang membuat para
pelaku dongkrek bangga. Pada Festival
Bengawan Solo tingkat nasional mendapat
tropi juara III dan masuk dalam kategori 10
besar pada Festival Kesenian Rakyat di
Malang.
Tanda Karya Raden Ngabei
Tarian dan irama seni dongkrek lahir dari
wangsit hasil lelaku sang demang yang
empati terhadap nasib rakyatnya.
Saat Raden Bei Lo Prawirodipuro menjabat
demang atau palang (jabatan setingkat
kepala desa) di Mejoyo atau Mejayan, kini
menjadi Caruban Madiun, pernah dirundung
sedih karena rakyatnya sedang ditimpa
musibah. Wabah penyakit yang menyerang
dusun Mejayan, waktu itu, sangat berbahaya
dan memilukan. Betapa tidak, siang terserang
sakit sore hari meninggal dunia. Atau pagi
sakit malam hari meninggal dunia.
Sebagaipemimpin, Raden Prawirodipuro
merenung dan mencoba menemukan cara
untuk mengatasi wabah penyakit yang
menimpa rakyatnya. Lalu ia lelaku, meditasi
dan bertapa di wilayah gunung kidul Caruban.
Ia mendapatkan wangsit untuk membuat
semacam tarian atau kesenian yang bisa
mengusir bala tersebut.
Dalam wangsititu tergambar, para punggawa
kerajaan roh halus atau pasukan gondoruwo
yang menyerang penduduk Mejayan dapat
diusir dengan menggiring mereka keluar dari
desa. Wangsit itu kemudian direalisasikan dan
dibuatlah semacam kesenian yang
melukiskan fragmentasi pengusiran arwah
jahat yang membawa pagebluk tersebut.
“Komposisi para pemain fragmen satu
babak pengusiran roh halus tersebut terdiri
dari barisan buto kolo, orang tua sakti dan
kedua perempuan tua separuh baya. Para
perempuan sebagai simbol pihak yang
posisinya lemah sedang dikepung oleh para
pasukan buto kolo dan ingin membunuh
perempuan tersebut. Lalu muncullah lelaki
tua dengan tongkatnya mengusir barisan
arwah jahat dan menjauhkannya dari para
perempuan tersebut,” jelas Andri Suwito,
Ketua Grup Seni Dongkrek Condro Budoyo
Madiun.
Kemudian, melalui peperangan yang cukup
sengit, antara rombongan buto kolo dengan
orang tua sakti, dimenangkan oleh orang tua
tersebut. Akhirnya, orang tua sakti dapat
menyelamatkan kedua perempuan dari
ancaman para buto kolo. Rombongan buto
kolo itu bahkan menjadi patuh terhadap
kehendak orang tua sakti. Orang tua yang
didampingi dua perempuan kemudian
menggiring pasukan buto kolo keluar dari
Desa Mejayan dan sirnalah pagebluk yang
menyerang rakyat selama ini. Tradisi ini pun
menjadi ciri khas kebudayaan masyarakat
Caruban, Madiun dengan sebutan
“dongkrek”.

1 komentar:

  1. mudah - mudahan seni dongkrek bisa terus berkembang !!!
    dan di Sekolah Kami SDN Banyukambang Kec. Wonoasri Kab. Madiun akan segera ikut melestarikannya.
    semoga sukses kesenian madiun
    aminnnnnnnnnn...

    BalasHapus